Ditulis oleh Spica Arumning Ardhi Gusti
PEMFIGUS
PEMFIGUS berasal dari bahasa Yunani pemphix yang berarti gelembung atau melepuh. Pemfigus dideskripsikan sebagai kelompok penyakit bullosa kronik, yang diberi nama oleh Wichman pada tahun 1791. Istilah pemfigus masuk dalam kelompok penyakit melepuh autoimun pada kulit dan membrane mukosa yang secara histopatologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis, dan ditandai oleh adanya lepuhan intradermal serta secara imunopatologik ditemukan antibody immunoglobulin G (IgG) pada komponen desmosom permukaan keratinosit jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.
Terdapat 4 bentuk pemfigus ialah :
1. pemfigus vulgaris
2. pemfigus eritematosus
3. pemfigus foliaseus
4. pemfigus vegetans
Kasus pemfigus vulgaris adalah yang terbanyak,yaitu sekitar 70 %. Pada kesempatan kali ini yang akan dibahas adalah khusus mengenai Pemfigus Vulgaris.
PEMFIGUS VULGARIS
Epidemiologi
Pemfigus vulgaris (P.V) merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% dari semua kasus penyakit kulit). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak.
Etiologi
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum penderita ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-induced pemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus foliaseus (termasuk pemfigus eritematous) atau pemfigus vulgaris. Pemfigus foliaseus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histopatologik menyerupai pemfigus yang sporadik, pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada kebanyakan kasus positif, sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif.
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma baik yang jinak maupun yang maligna, dan disebut sebagai pemfigus paraneoplastik. Pemfigus juga dapat ditemukan penyakit auroimun yang lain, misalnya lupus eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa, myastenia gravis, dan anemia pernisiosa.
Patogenesis
Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat sangat khas, yakni :
- hilangnya kohesi sel-sel epidermis
- adanya antibodi IgG (immunoglobulin G) terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi
Lepuh pada P.V akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen P.V. antigen ini merupakan transmembaran glikoprotein dengan berat molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris yang terdapat pada permukaan sel keratinosit.
Target antigen pada P.V yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein (Dsg) 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3.
Desmoglein adalah salah satu komponen desmosom. Komponen yang lain, misalnya desmoplakin, plakoglobin, dan desmokolin. Fungsi desmosom ialah meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.
Akibat hilangnya kohesi sel-sel epidermis, maka menyebabkan adanya antibodi IgG (immunoglobulin G) terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi. Jalur Dsg3 akan teraktifkan selama fase transisi, di bawah kondisi yang terkontrol atau di dalam keratinocytes sehingga menampakkan antibodi Pemfigus vulgaris. Ditingkatkannya akumulasi c-Myc diamati di epidermis dan mulut mucosa pada semua manusia dan penganalisisan pasien canien. Tanda bintang kuning merupakan protein yang teraktifasi. Kemampuan Dsg3/EGF-R dalam mengontrol sel sejalan dengan kemampuan pengacau sel oleh PG dan DP yang dengan penuh terkumpul pada desmosom yang fungsinya meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa. Adanya protein yang teraktifkan, menyebabkan pembentukan DP dan PG yang lebih banyak dari keadaan normal lah yang menyebabkan terjadinya penyakit ini.
Pada penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas immunoglobulin G1 (IgG1) dan immunoglobulin G4 (IgG4), tetapi yang patogenetik adalah IgG4.
Pada pemfigus juga ada faktor genetik, umumnya berkaitan dengan HLA-DR4.
Gejala Klinis
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai pioderma pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula generalisata.
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lendir konjungtiva, hidung, farings, larings, esofagus, uretra, vulva, dan serviks. Kebanyakan penderita menderita stomatitis aftosa sebelum diagnosos pasti ditegakkan. Lesi di mulut ini dapat meluas dan dapat mengganggu pada waktu penderita makan oleh karena rasa nyeri.
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas kulit ang terkelupas tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa dan generalisata. Tanda Nikolsky positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan.
Figure 1. Desmogleins are targeted in epidermal blistering diseases. Dsg1 is expressed most highly in the superficial epidermis, whereas Dsg3 is more restricted to the lower layers. (Left) In pemphigus vulgaris (PV), autoantibodies (PV-IgG) bind Dsg3 and result in splitting near the basal layer of the epidermis. (Right) Binding of Dsg1 by PF-IgG in pemphigus foliaceus (PF) or cleavage by ETA in staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) leads to superficial acantholysis.
Given the prevalence of desmosomes in the stratified epidermal layers, it was not surprising that the adhesive function of desmogleins was compromised in diseases characterized by acantholysis among epidermal keratinocytes. However, the finding that the desmosome was the common molecular denominator of two dermatologic diseases of distinct etiologies was a significant scientific achievement. By firmly establishing the role of desmosomes in human disease, these discoveries by Amagai, Stanley and co-workers paved the way for the myriad publications that have followed, each advancing our understanding of pathologies that result from disrupting these all-important adhesive structures.
Gambar 1. Desmogleins ditargetkan pada epidermal penyakit yang melepuh. Dsg1 dinyatakan pada epidermis paling tinggi, sedangkan Dsg3 lebih terbatas untuk lapisan yang lebih bawah. (Kiri) Di (dalam) pemphigus vulgaris ( PV), autoantibodies ( PV-IGG) mengikat Dsg3 dan mengakibatkan pemisahan dekat lapisan yang fundamental dari kulit luar. (Kanan) Ikatan dari Dsg1 dengan PF-IGG di dalam pemphigus foliaceus ( PF) atau perpecahan oleh ETA di dalam sindrom kulit melepuh Staphylococcal ( SSSS) memimpin ke arah acantholysis. Bagaimanapun, temuan bahwa desmosom adalah denominator molekular umum dari dua penyakit yang dermatologic dari etiologi yang terpisah adalah suatu prestasi ilmiah yang penting, para ahli menetapkan penyakit ini diakibatkan oleh gangguan struktur adhesif.
Histopatologi
Pada gambaran hisopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan percobaan Tzanck positif. Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus. Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron dapat diketahui bahwa permulaan perubahan patologik ialah perlunakan segmen interselular. Juga dapat dilihat perusakan desmosom dan tonofilamen sebagai peristiwa sekunder.
Imunologi
Pada tes imunofloresensi langsung didapatkan antibodi interseluler tipe IgG dan C3. Pada tes imunofloresensi tidak langsung didapatkan antibodi pemfigus tipe IgG. Tes yang pertama lebih terpercaya daripada tes yang kedua, karena telah menjadi positif pada permulaan penyakit, sering sebelum tes kedua menjadi positif, dan tetap positif pada waktu yang lama meskipun penyakitnya telah mambaik.
Antibodi ini rupanya sangat spesifik untuk pemfigus. Kadar titernya umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.
Pengobatan
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Yang sering digunakan ialah prednison dan deksametason.
Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah 5-7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan 50%. Kalau telah ada perbaikan dosis diturunkan secara bertahap, menjadi bersifat individual. Cara yang terbaik ialah memantau titer antibodi karena antibodi tersebut menunjukkan keaktifan penyakit. Jika titernya stabil, penurunan dosis lambat; bila titernya menurun penurunan dosis lebih cepat.
Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi denyut. Caranya bermacam-macam, yang lazim digunakan ialah dengan methylprednisolon sodium succinate (solumedrole ® ).
Jika pemberian prednison melebihi 40 mg sehari harus disertai antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
Bila telah tercapai dosis pemeliharaan, untuk mengurangi efek samping kortikosteroid, obat diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari jam 8. Alasannya adalah pada waktu tersebut kadar kortisol dalam darah paling tinggi. Sebaiknya obat diberikan selang sehari, diharapkan pada waktu bebas obat tidak terjadi penekanan terhadap kelenjar adrenal bagian koreks. Keburukannya pada hari bebas obat timbul lesi baru.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang berat atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur kolumna vertebre pars lumbalis.
Tentang penggunaan sitostatik sebagai ajuvan pada pengobatan pemfigus terdapat dua pendapat :
- sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid sistemik. Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlalu tinggi sehingga efek sampingnya lebih sedikit.
- sitostatik diberikan jika :
- Kortikosteroid dosis tinggi kurang memberi respons.
- Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes melitus, katarak, dan osteoporosis.
- Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan.
Para ahli penyakit Kulit dan Kelamin lebih condong menganut pendapat kedua. Siostatik merupakan ajuvan yang terkuat karena bersifat imunosupresif.
Obat sitostatik untuk pemfigus ialah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat, dan mikofenolat mofetil. Obat yang cukup lazim digunakan adalah azatioprin karena cukup bermanfaat dan tidak begitu toksik seperti siklofosfamid. Produk metabolisme siklofosfamid yang bersifat sitotoksik diekskresi melalui urin, oleh karena itu penderita dianjurkan agar banyak minum. Gejala oksik dini pada vesika urinaria ialah diuria, didapati pada 20% penderita yang mendapat obat tersebut dalam jangka waktu lama.
Pengobatan topikal sebenarnya tidak sepenting pengobatan sistemik. Pada daerah yang erosif dapat diberikan silver sulfadiazine, yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen. Pada lesi pemfigus yang sedikit dapat diobati dengan kortikosteroid secara intralesi (intradermal) dengan triamsinolon asetonid.
Prinsip pengobatan pada pemfigus vulgaris adalah sama seperti penyakit auto imun bula lainnya, yang menurunkan bentuk lepuhan, menaikkan penyembuhan lepuhan dan erosi, dan menentukan dosis minimal yang diperlukan untuk mengontrol pengobatan yang diperlukan dalam mengontrol proses penyakit. Terapi harus disesuaikan untuk masing-masing pasien, tergantung keadaan atau kondisi pasien itu sendiri. Pasien boleh melanjutkan pengalaman aktivitas penyakit ringan selama berada di bawah pengobatan yang optimal.
Kortikosteroid telah meningkatkan mortalitas keseluruhan, tetapi sekarang banyak kematian dan ke-abnormalan pada pasien yang berhubungan dengan efek terapi yang merugikan. Dosis steroid yang terlalu besar yang memiliki keuntungan over dosis 1 mg/kg/d adalah tidak benar. Obat Immunosuppressive adalah steroid yang menyerap dan dapat mempertimbangkan lebih awal penyebab penyakit. Faktor pertumbuhan epidermal dapat mempercepat penyembuhan luka/lesi normal.
Pengobatan ini dapat menormalkan kembali jumlah DP dalam sel, menghambat produksi autoimun, contohnya D-penisilamin dan kaptopril dan mennghambat teraktifasinya protein yang berlebihan sehingga menghasilkan PG dan DP yang berlebihan.
No comments:
Post a Comment