Infinity Bux

Neobux

Join now!

Friday, April 8, 2011

Sefalosporin

A. Antibiotik
Antibiotik dapat dikatakan sebagai perusak kehidupan, atau dapat disebut juga suatu zat kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan, dalam larutan encer, untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh m ikroorganisme lainnya (Tiromaru, 2008).
Berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi lima kelompok yaitu:
1.         Mengganggu metabolisme sel mikroba
Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid, trimetoprin, asam p-aminosalisilat (PAS), dan Sulfon.
2.         Menghambat sintesis dinding mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.
3.         Mengganggu permeabilitas membran sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik, umpamanya antiseptik surface active agents.
4.         Menghambat sintesis protein sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah golongan aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.
5.         Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin, dan golongan kuinolon.
(Tiromaru, 2008)
Jenis-jenis antibiotik
Meskipun ada lebih dari 100 macam antibiotik, namun umumnya mereka berasal dari beberapa jenis antibiotik saja, sehingga mudah untuk dikelompokkan. Ada banyak cara untuk menggolongkan antibiotik, salah satunya berdasarkan struktur kimianya (Tiromaru, 2008).
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:
1.         Golongan Aminoglikosida
Diantaranya adalag amikasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilimisin, paromisin, sisomisin, streptomisin, dan tobramisin.
2.         Golongan Beta-Laktam
Diantaranya golongan karbapenem (ertapenem, imipenem, meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin).
Salah satu contoh dari golongan beta-laktam ini adalah golongan sefalosporin dan golongan sefalosporin ini ada hingga generasi ketiga dan seftriakson merupakan generasi ketiga dari golongan sefalosporin ini.
3.         Seftriakson
Obat ini umumnya aktif terhadap kuman gram-positif, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama. Untuk meningitis obat ini diberikan dua kali sehari sedangkan untuk infeksi lain umumnya cukup satu kali dalam sehari.
Dosis lazim obat ini ialah 1-2 g/hari IM atau IV dalam dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 0.25 ; 0.5 ; dan 1 g. Apabila obat ini diberikan sebanyak 250mg akan sangat ampuh dan tanpa komplikasi oleh karena itu menjadi pilihan utama untuk uretritis oleh gonokokus.
4.         Golongan Glikopeptida
Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.
5.         Golongan Poliketida
Diantaranya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin).
6.         Golongan Polimiksin
Diantaranya polimiksin dan kolistin.
7.         Golongan Kuinolon (fluorokuinolon)
Diantaranya asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin.
Golongan ini dapat digunakan untuk infeksi sistemik. Mekanisme resistensi melalui plasmid seperti yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun dapat terjadi dengan mekanisme mutasi pada DNA atau membrane sel kuman.
Golongan flourokuinolon aktif sekali terhadap enterobacteriaceae (E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus), Shigella, Salmonella, Vibrio, C. jejuni, B. catarrhalis, H. influenza, dan N. gonorrhoeae. Golongan ini juga aktif terhadap Ps. Aeruginosa. Berbagai kuman yang telah resisten terhadap golongan aminoglikosida dam beta-laktam ternyata masih peka terhadap fluorokuinolon.
Streptokokus (termasuk S. pyogenes grup A, Enterococcus faecalis, dan Streptococcus viridans) termasuk ke dalam kuman yang kurang peka terhadap fluorokuinolon. Kuman-kuman anaerob pada umumnya resiten terhadap fluorokuinolon.
Golongan kuinolon baru umunya dapat ditoleransi dengan baik. Efek sampingnya yang terpenting adalah pada saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada saluran cerna terutama berupa mual dan hilang nafsu makan, merupakan efek samping yang paling sering dijumpai. Efek samping pada susunan saraf pusat umumnya bersifat ringan berupa sakit kepala, vertigo dan insomnia.
Efek samping yang lebih berat pada SSP seperti reaksi psikotik, halusinasi, depresi dan kejang, jarang terjadi. Penderita berusia lanjut, khususnya dengan arteriosklerosis atau epilepsi, lebih cenderung mengalami efek samping susunan saraf ini.
8.         Golongan Streptogramin
Diantaranya pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan kinupristin-dalfopristin.
9.         Golongan Oksazolidinon
Diantaranya linezolid dan AZD2563.
10.     Golongan Sulfonamida
Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim.
(Tiromaru, 2008)
Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat (Tiromaru, 2008).
Antibiotik dapat pula digolongkan berdasarkan organisme yang dilawan dan jenis infeksi. Berdasarkan keefektifannya dalam melawan jenis bakteri, dapat dibedakan antibiotik yang membidik bakteri gram positif atau gram negatif saja, dan antibiotik yang berspektrum luas, yaitu yang dapat membidik bakteri gram positif dan negative (Tiromaru, 2008).
B. Sefalosporin
Sefalosporin termasuk golongan antibiotika Betalaktam. Seperti antibiotik Betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel (Medicastore, 2006)
Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun garam negatif, tetapi spektrum masing-masing derivat bervariasi (Medicastore, 2006).
Penggolongan Sefalosporin
Hingga tahun 2006 golongan Sefalosporin sudah menjadi 4 generasi, pembedaan generasi dari Sefalosporin berdasarkan aktivitas mikrobanya dan yang secara tidak langsung sesuai dengan urutan masa pembuatannya (Medicastore, 2006).
Berikut pembagian generasi Sefalosporin :
No
Nama
Generasi
Cara Pemberian
Aktivitas Antimikroba
1.
Cefadroxil
1
Oral
Aktif terhadap kuman gram positif dengan keunggulan dari Penisilin aktivitas nya terhadap bakteri penghasil Penisilinase
2.
Cefalexin
1
Oral
3.
Cefazolin
1
IV dan IM
4.
Cephalotin
1
IV dan IM
5.
Cephradin
1
Oral IV dan IM
6.
Cefaclor
2
Oral
Kurang aktif terhadap bakteri gram postif dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif; misalnya H.influenza, Pr. Mirabilis, E.coli, dan Klebsiella
7.
Cefamandol
2
IV dan IM
8.
Cefmetazol
2
IV dan IM
9.
Cefoperazon
2
IV dan IM
10.
Cefprozil
2
Oral
11.
Cefuroxim
2
IV dan IM
12.
Cefditoren
3
Oral
Golongan ini umumnya kurang efektif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kuman gram positif, tetapi jauh lebih efektif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil Penisilinase.
13.
Cefixim
3
Oral
14.
Cefotaxim
3
IV dan IM
15.
Cefotiam
2
IV dan IM
16.
Cefpodoxim
3
Oral
17.
Ceftazidim
3
IV dan IM
18.
Ceftizoxim
3
IV dan IM
19.
Ceftriaxon
3
IV dan IM
20.
Cefepim
4
Oral IV dan IM
Hampir sama dengan generasi ketiga
21.
Cefpirom
4
Oral IV dan IM
(Medicastore, 2006)
Indikasi Klinik
Sediaan Sefalosporin seyogyanya hanya digunakan untuk pengobatan infeksi berat atau yang tidak dapat diobati dengan antimikroba lain, sesuai dengan spektrum antibakterinya. Anjuran ini diberikan karena selain harganya mahal, potensi antibakterinya yang tinggi sebaiknya dicadangkan hanya untuk hal tersebut di atas (Medicastore, 2006).
Adapun indikasi dari masing Sefalosporin sebagai berikut :
1.         Cefadroxil dan Cefalexin
Obat golongan Cefalosporin ini yang digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri pada kulit, tenggorokan, dan infeksi kandung kemih. Antibiotik ini tidak efektif untuk pilek, flu atau infeksi lain yang disebabkan virus.
2.         Cefazolin
Cefazolin digunakan untuk mengobati infeksi bakteri dan penyakit pada infeksi pada kandung empedu dan kandung kemih, organ pernafasan, genito urinaria (infeksi pada organ seksual dan saluran kencing), pencegahan infeksi pada proses operasi dan infeksi kulit atau luka.
3.         Cephalotin
Obat golongan Sefalosporin ini yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri dan penyakit pada infeksi kulit dan jaringan lunak, saluran nafas, genito-urinaria, pasca operasi, otitis media dan septikemia.
4.         Cefaclor dan Cefixim
Cefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam penyakit seperti pneumonia dan infeksi pada telinga, paru-paru, tenggorokan, saluran kemih dan kulit.
5.         Cefamandol, Ceftizoxim dan Ceftriaxon
Cefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam penyakit pada paru-paru, kulit, tulang, sendi, perut, darah dan saluran kencing.
6.         Cefmetazol
Cefmetazol lebih aktif daripada Sefalosporin golongan pertama terhadap gram positif Proteus, Serritia, kuman anaerobik gram negatif (termasuk B. fragilis) dan beberapa E.coli, Klebsiella dan P. mirabilis, tetapi kurang efektif dibandingkan Cefoxitin atau Cefotetan melawan kuman gram negatif.
7.         Cefoperazon dan Ceftazidim
Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi termasuk paru-paru, kulit, sendi, perut, darah, kandungan, dan saluran kemih.
8.         Cefprozil
Obat Sefalosporin ini mengobati infeksi seperti Otitis Media, infeksi jaringan lunak dan saluran nafas.
9.         Cefuroxim
Cefuroxim digunakan untuk mengobati infeksi tertentu yang disebabkan oleh bakteri seperti; bronkitis, gonore, penyakit limfa, dan infeksi pada organ telinga, tenggorokan, sinus, saluran kemih, dan kulit.
10.     Cefotaxim
Cefotaxime digunakan untuk mengobati Gonore, infeksi pada ginjal (pyelonephritis), organ pernafasan, saluran kemih, meningitis, pencegahan infeksi pada proses operasi dan infeksi kulit dan jaringan lunak.


11.     Cefotiam
Memiliki aktivitas spetrum luas terhadap kuman gram negatif dan positif, tetapi tidak memiliki aktivitas terhadap Pseudomonas aeruginosa.
12.     Cefpodoxim
Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi seperti Pneumonia, Bronkitis, Gonore dan infeksi pada telinga, kulit, tenggorokan dan saluran kemih.
13.     Cefepim
Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi seperti Pneumonia, kulit, dan saluran kemih.
14.     Cefpirom
Obat Sefalosporin ini menghilangkan bakteri yang menyebabkan berbagai macam infeksi pada darah atau jaringan, paru-paru dan saluran nafas bagian bawah, serta saluran kemih.
(Medicastore, 2006)
Resistensi
Mekanisme resistensi bakteri terhadap sefalosporin terjadi melalui dua cara yaitu mutasi pada PBPs dan produksi enzim beta laktamase. Enzim beta laktamase adalah enzim yang diproduksi bakteri yang dapat memecah cincin beta laktam sehingga sefalosporin menjadi tidak aktif.
Efek Samping
Efek samping sefalosporin tidak jauh berbeda dengan penisilin. Ruam nonpruritik dapat timbul pada 1% - 2,8% pasien dan bukan kontraindikasi pemberian sefalosporin berikutnya. Reaksi anafilaksis jarang terjadi dengan risiko anafilaksis sekitar 0,0001% - 0,1%. Reaksi anafilaksis sefalosporin pada pasien yang alergi penisilin juga tidak terbukti lebih besar. Reaksi silang dapat terjadi pada sefalosporin generasi pertama (cephalexin, cefadroxil, dan cefazolin) karena mempunyai struktur rantai kimia menyerupai penicilin atau amoksisilin. Namun, risiko reaksi silang tersebut sangat kecil (0,5%). Oleh karena itu, American Academy of Pediatrics merekomendasikan sefalosporin oral pada pasien yang alergi penisilin untuk tatalaksana otitis media dan sinusitis.
Farmakologi Sefalosporin
Generasi Aspek Farmakologi
1.         Generasi I
Spektrum
  • Aktivitas baik terhadap kokus gram positif, termasuk MSSA (Methicillin-susceptible Staphylococcus aureus) dan streptokokus.
  • Tidak mempunyai aktivitas terhadap enterokokus, MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus), atau Listeria.


Farmakokinetik
  • Sediaan oral diserap dengan baik.
  • Konsentrasi terapeutik tercapai pada sebagian besar jaringan (pleura, cairan sinovial, dan tulang), kecuali cairan pada telinga tengah.
  • Penetrasi sawar darah otak sangat kurang, sehingga tidak direkomendasikan untuk meningitis bakterialis
Indikasi
Infeksi yang disebabkan oleh MSSA dan streptokokus. Tidak direkomendasikan sebagai antibiotik lini I
Efek samping
·           Gangguan gastrointestinal ringan: mual, muntah, atau diare.
·           Pseudomembran colitis
2.         Generasi II
Spektrum
·           Aktivitas baik terhadap gram positif, tapi aktivitas terhadap S. aureus kurang.
·           Aktivitas lebih baik terhadap gram negatif (Enterobacteriaceae, H influenzae, dan M catarrhalis) dibandingkan dengan generasi I.
·           Tidak mempunyai aktivitas terhadap enterococci, Listeria, Pseudomonas, MRSA, atau S epidermidis.
Farmakokinetik
·           Cefaclor dan cefprozil diserap dengan baik.
·           Absorbsi cefuroxime axetil <50% tapi meningkat bila diberikan bersama makanan.
·           Konsentrasi terapeutik tercapai pada sebagian besar jaringan (pleura, cairan sinovial, dan tulang).
·           Cefuroxime dapat menembus sawar darah otak tapi tidak direkomendasikan untuk meningitis karena potensi delayed CSF sterilization.
Indikasi
  • Direkomendasikan sebagai antibiotik lini II pada infeksi kulit, jaringan lunak, ISPA, pneumonia, dan otitis media akut.
  • Jarang direkomendasikan sebagai antibiotik lini I.
Efek samping
  • Serum sickness-like reactions, pseudomembran colitis
3.         Generasi III
Spektrum
Ø  Oral
·         Aktif terhadap MSSA, dan beberapa PNSP.
·         Cefixime dan ceftibuten lebih stabil terhadap beta laktamase dibandingkan sefalosporin oral lainnya.
Ø  Intravenous
·         Bacterisidal terhadap gram negatif, terutama H influenza (termasuk beta-lactamase-producing strains), M catarrhalis, E. coli, Klebsiella pneumoniae, Morganella, Neisseria, Proteus, Enterobacter sp, Serratia marcescens, dan Acinobacter sp.
·         Aktivitas baik terhadap grup A dan grup B streptokokus dan S pneumoniae.
·         Aktivitas anaerob minimal.
Farmakokinetik
  • Ceftriaxone: waktu paruh 6-9 jam, interval dosis pemberian 1 atau 2 kali sehari. Penetrasi pada tulang, sendi, otot, kulit, telinga tengah, dan sawar darah otak baik.
  • Cefotaxime: waktu paruh lebih pendek dari pada ceftriaxone, interval dosis setiap 6-8 jam.
Indikasi
  • Oral : OMA, sinusitis bakterial akut, ISK dan Strep Throat yang alergi penisilin.
  • Intravenous : Pneumonia, sinusitis, meningitis, infeksi Neisseria gonorrhea dan Pseudomonas Infeksi yang disebabkan
  • oleh MSSA dan streptokokus.
Efek samping
  • Oral : ”Bloodlike” appearance (cefdinir) dan diare
  • Intravenous (Efek samping < 5% ): trombositosis, reaksi alergi, diarrhea, rash.Gangguan gastrointestinal ringan: mual, muntah, atau diare.
4.    Generasi IV
Spektrum
  • Efektif terhadap MSSA, S pyogenes, S pneumonia, E coli, H influenzae, M catarrhalis, N gonorrhoea, P aeruginosa, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Citrobacter, Enterobacter, Klebsiella, Providencia, dan serratia sp.
  • Tidak mempunyai aktivitas terhadap MRSA, enterokokus, ESBL atau Amp-C beta-lactamase-producing gram negative organism.
Farmakokinetik
  • Waktu paruh 1,7 – 2,3 jam.
Indikasi
  • Infeksi yang disebabkan pseudomonas.
Efek samping
  • Reaksi lokal, phlebitis, rash, diare, mual, muntah, pruritus, tes coombs positif, dan konsentrasi fosfor serum menurun.
(Kemang Medical Care, 2009)


Literatur

Asma

Istilah CARA atau Chronic Aspecific Respiratory Affection mencakup semua penyakit saluran napas yang bercirikan penyumbatan (obstruksi) bronchi disertai pengembangan mukosa (udema) dan sekresi dahak (sputum) berlebihan. Penyakit-penyakit tersebut meliputi berbagai bentuk penyakit beserta peralihannya, yakni asma, bronchitis kronis, dan emfisema paru yang gejala klinisnya dapat saling menutupi (overlapping). Gejala terpentingnya antara lain sesak napas (dyspnoe) saat mengeluarkan tenaga atau saat istirahat dan / sebagai serangan akut, juga batuk kronis dengan pengeluaran dahak kental. Karena gangguan tersebut memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda-beda dengan penanganan yang juga tidak sama, maka pada umumnya telah dilakukan pemisahan antara asma, bronchitis kronis, dan emfisema, yang kini dinamakan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) (Tjay, 2007).
Apa yang dimaksud dengan Asma ?
Asma bronkial, atau lebih populer dengan sebutan asma atau sesak napas, telah dikenal luas di masyarakat. Namun pengetahuan tentang asma bronkial hanya terbatas pada gejala asma bronkial saja, diantaranya dada terasa tertekan, sesak napas, batuk berdahak, napas berbunyi (mengi), dll (Medicastore, 2009). Penyakit asma berasal dari kata “asthma” yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernapas” (Medicastore, 2009).
Asma Bronkhial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon dari saluran napas, terhadap bermacam-macam rangsangan yang ditandai dengan penyempitan saluran napas disertai keluarnya lendir yang berlebihan dari kelenjar-kelenjar di dinding saluran napas, sehingga menimbulkan gejala batuk, mengi dan sesak (Avianto, 2007). Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya. Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit (Rahmawati et al.,2003). Berbeda dengan COPD, penyempitan saluran napas paa asma umumnya bersifat reversible dan serangan biasanya berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Diantara dua serangan, pasien tidak menunjukkan gejala apapun (Tjay, 2007).
Apa penyebabnya ?
Serangan asma disebabkan oleh peradangan steril kronis dari saluran napas dengan mastcells dan granulosit eusinofil sebagai pemeran penting. Pada orang-orang yang peka terjadi obstruksi saluran napas yang difus dan reversibel. Disamping itu juga terdapat hiperreaktivitas bronchi terhadap beberapa stimuli (a)spesifik yang dapat memicu serangan. Stimuli terkenal adalah zat-zat alergen, terutama partikel-partikel tinja dari tungau, pollen, spora jamur (Aspergillus fumigatus), zat-zat perangsang (asap dan SO2 dari polusi kendaraan, asap, roko, uap, debu). Begitu pula hawa dingin (kering), emosi, kelelahan, dan inveksi virus (rhinovirus, virus parainfluenza), juga obat-obat tertentu (asetosal, β-blockers, NSAIDs) (Tjay, 2007).
Pada serangan yang hebat penyaluran oksigen dan udara ke darah menjadi sedemikian lemah, sehingga penderita membiru kulitnya (cyanosis). Sebaliknya, pengeluaran napas dipersulit dengan meningkatnya kadar CO2 dalam darah, yang memperkuat perasaan engap dan kecemasan (Tjay, 2007).
Kontak dengan zat-zat tertentu (mis. Bahan-bahan kimia) di lingkungan pekerjaan (industry) dapat memicu timbulnya asma yang bertalian dengan pekerjaan (occupational asthma). Hal ini disebabkan karena zat-zat etrsebut dapat menimbulkan antibodies IgE yang spesifik (Tjay, 2007).

Faktor Pencetus Serangan Asma
A. Faktor penjamu, faktor pada pasien
§   Aspek genetik
§   Kemungkinan alergi
§   Saluran napas yang memang mudah terangsang
§   Jenis kelamin
§   Ras/etnik
B. Faktor lingkungan
1.         Bahan-bahan di dalam ruangan :
- Tungau debu rumah
- Binatang, kecoa
2.         Bahan-bahan di luar ruangan
- Tepung sari bunga
- Jamur
3.         Makanan-makanan tertentu, Bahan pengawet, penyedap, pewarna makanan
4.         Obat-obatan tertentu
5.         Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray )
6.         Ekspresi emosi yang berlebihan
7.         Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
8.         Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
9.         Infeksi saluran napas
10.     Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas fisik tertentu.
11.     Perubahan cuaca
(Infoasma, 2004)
Bagaimana mekanisme terjadinya asma ?
INFLAMASI SALURAN NAPAS
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodeling (Rahmawati et al.,2003).

Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, granulocytet monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon- (IFN-) dan tumor necrosis factor-(TNF-) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/ APC) (Rahmawati et al.,2003).

Mekanisme limfosit T - IgE
Setelah APC mempresentasikan alergen / antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan major histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik-alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi (Rahmawati et al.,2003).

Mekanisme limfosit T ­ nonIgE
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness / AHR) (Rahmawati et al.,2003).

GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Hasil pemeriksaan histopatologi penderita yang meninggal karena serangan asma menunjukkan gambaran inflamasi saluan napas. Lumen saluran napas tertutup oleh sumbatan mukuslengket yang terdiri atas protein plasma berasal dari pembuluh darah saluran napas dan glikoprotein mukus berasal dari sel epitel permukaan. Terjadi pelepasan sel epitel, penebalan lapisan subepitel, penebalan lapisan otot polos karena hipertrofi dan hiperplasi sel goblet dan kelenjar mukus(Rahmawati et al.,2003).
Kurasan (lavage) bronkoalveolar penderita asma menunjukkan kenaikan jumlah limfosit, sel mast dan eosinofil serta aktivasi makrofag sedangkan biopsi bronkus menunjukkan infiltrasi eosinofil, pelepasan epitel dan fibrosis subepitel (Rahmawati et al.,2003).

HIPERESPONSIVITAS SALURAN NAPAS
Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar, kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot polos saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF) (Rahmawati et al.,2003).

SEL INFLAMASI
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma mes-kipun peran tiap sel yang tepat belum pasti.

Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis.Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mucus (Rahmawati et al.,2003).
Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam mekanisme antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil(Rahmawati et al.,2003).
Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR (Rahmawati et al.,2003).

Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh aler-gen lewat reseptor IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE-dependent sehingga berperan dalam proses inflamasi (Rahmawati et al.,2003).
Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan meng-hantarkan alergen pada limfosit T (Rahmawati et al.,2003).

Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan AHR (Rahmawati et al.,2003).
Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR (Rahmawati et al.,2003).

Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB 4 dan PAF (Rahmawati et al.,2003).
Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan bahwa neutrofil merupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti (Rahmawati et al.,2003).

Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi. Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil (Rahmawati et al.,2003).

Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan allergen (Rahmawati et al.,2003).

Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik allergen (Rahmawati et al.,2003).
Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF (Rahmawati et al.,2003).

Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah miofibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal reticular (Rahmawati et al.,2003).

MEDIATOR INFLAMASI
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mempunyai pengaruh pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF , leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan pe-narikan sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mem-pengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh (Rahmawati et al.,2003).

Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi  refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast (Rahmawati et al.,2003).

Prostaglandin
Prostaglandin (PG)D 2 dan PGF 2 merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan merangsang saraf aferen saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor tromboksan-prostaglandin (Rahmawati et al.,2003).

Platelet activating factor (PAF)
Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dapat dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular yang disebabkan rangsangan PAF (Rahmawati et al.,2003).
Platelet activating factor juga dapat merangsang akumulasi eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel, merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE terhadap eosinofil dan monosit (Rahmawati et al.,2003).

Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme nonhistamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4 dan LTE4 (Rahmawati et al.,2003).
Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas (Rahmawati et al.,2003).

Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan olehlimfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflames (Rahmawati et al.,2003).
Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Interleukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B membentuk IgE (Rahmawati et al.,2003).

Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma (Rahmawati et al.,2003).

Nitric oxide (NO)
Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf, diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai vasodilator, neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi diban-dingkan orang normal (Rahmawati et al.,2003).

Radikal bebas oksigen
Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif (Rahmawati et al.,2003).
Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. (Rahmawati et al.,2003)
Jumlah oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas (Rahmawati et al.,2003).

Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah (Rahmawati et al.,2003).
Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C sehingga terjadi hiper-sekresi mukus dan pelepasan takikinin (Rahmawati et al.,2003).

Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas (Rahmawati et al.,2003).

Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast (Rahmawati et al.,2003).

MEKANISME SARAF
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks (Rahmawati et al.,2003).

Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin (Rahmawati et al.,2003).

Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak langsung yaitu melalui katekolamin/ epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi (Rahmawati et al.,2003).

Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)
Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor penghambat saraf NANC menyebabkan pemecahan bahan neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP) (Rahmawati et al.,2003).

PATOFISIOLOGI ASMA
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar kelainan faal. Kelainan patologi yang terjadi adalah obstruksi saluran napas, hiperesponsivitas saluran napas, kontraksi otot polos bronkus, hiperesekresi mukus, keterbatasan aliran udara yang ireversibel, eksaserbasi, asma malam dan analisis gas darah (Rahmawati et al.,2003).

Obstruksi saluran napas
Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi (Rahmawati et al.,2003).

Hiperesponsivitas saluran napas
Mekanisme pasti hiperesponsivitas saluran napas belum diketahui jelas, diduga karena perubahan sifat otot polos saluran napas sekunder terhadap perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di daerah peribronkial dapat menambah penyempitan saluran napas selama kon-traksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran napas dapat diukur dengan uji provokasi bronkus (Rahmawati et al.,2003).

Konstraksi otot polos bronkus
Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus saat kontraksi isotonik. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oleh perubahan aparatus kontraksi (Rahmawati et al.,2003).

Hipersekresi mukus
Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas penderita asma. Penyumbatan saluran napas oleh mukus hampir selalu didapatkan pada asma yang fatal. Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel (Rahmawati et al.,2003).

Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan dinding saluran napas adalah karakteristik remodelling yang terdapat pada saluran napas besar maupun kecil. Gambaran ini terlihat secara patologi maupun radiologi (Rahmawati et al.,2003).

Eksaserbasi
Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokonstriksi saja (inciter) seperti latihan, udara dingin, kabut / asap dan rangsangan penyebab inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas oleh virus (Rahmawati et al.,2003).

Asma malam
Biopsi transbronkus pada penderita asma malam menunjukkan akumulasi eosinofil dan makrofag pada malam hari di alveolar dan jaringan peribronkus (Rahmawati et al.,2003).

Analisis gas darah
Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas; derajat hipoksemia berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi (Rahmawati et al.,2003).
Bagaimana menangani asma ?
Penanganannya ada dua macam, yang sama-sama penting, tergantung berat ringannya serangan yang timbul.
Pertama, non farmakologik (pengobatan tidak dengan obat-obatan)
1. Pendidikan pada penderita mengenai penyaktinya sehingga dia dapat menyikapi penyakitnya dengan baik;
2. Menghindari penyebab/pencetus serangan (allergen), dan kontrol lingkungan hidupnya;
3. Latihan relaksasi, kontrol terhadap emosi dan lakukan senam atau olah raga yang bermanfaat memperkuat otot pernapasan, misalnya berenang;
4. Fisioterapi, sehingga lendir mudah keluar.
Kedua, secara farmakologik (menggunakan obat-obatan)
1. Pelonggar nafas, misalnya salbutamol, aminofilin
2. Pemelihara, misalnya prednisone, dexametason dll.
3. Pengencer lendir, misalnya bromhexin, ambroxol dll.
(Avianto, 2007)
Obat-obat antiasmatika
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat asma dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu zat-zat yang menghindari degranulasi mastcell (anti-alergika) dan zat-zat yang meniadakan efek mediator (bronchodilator, antihistaminika, dan kortikosteroida)
1.         Anti-alergika
Adalah zat-zat yang berkhasiat menstabilisasi mastcells, sehingga tidak pecah dan mengakibatkan terlepasnya histamine dan mediator peradang lainnya. Yang terkenal adalah kromoglikat dan nedocromil, tetapi juga antihistaminika (ketotifen, oksatomida) dan β2-adrenergika (lemah) memiliki daya kerja ini  (Tjay, 2007).
2.         Bronchodilator
Pelepasan kejang dan bronchodilatasi dapat dicapai dengan cara merangsang system adrenergic dengan adrenergika atau melalui penghambatan system kolinergis dengan antikolinergika, juga dengan teofilin (Tjay, 2007).
3.         Agonis-β-adrenergik (β-mimetika)
Merupakan obat asma terbaik untuk mengurangi serangan asma yang terjadi secara tiba-tiba dan untuk mencegah serangan yang mungkin dipicu oleh olahraga atau aktivitas fisik.
Obat asma jenis ini merangsang pelebaran saluran udara oleh reseptor beta-adrenergik dengan cepat hanya beberapa menit tetapi efeknya hanya berlangsung selama 4-6 jam saja (Medicastore, 2006).
4.         Antikolinergika
Obat asma ini bekerja dengan menghalangi kontraksi otot polos dan pembentukan lendir yang berlebihan di dalam bronkus oleh asetilkolin. Lebih jauh lagi, obat ini akan menyebabkan pelebaran saluran udara pada penderita yang sebelumnya telah mengkonsumsi agonis reseptor beta2-adrenergik (Medicastore, 2006).
5.         Kortikosteroida
Obat asma golongan ini digunakan untuk menghalangi respon peradangan dan sangat efektif dalam mengurangi gejala asma. Jika digunakan dalam jangka panjang, secara bertahap obat asma ini akan menyebabkan berkurangnya kecenderungan terjadinya serangan asma dengan mengurangi kepekaan saluran udara terhadap sejumlah rangsangan (Medicastore, 2006).
6.         Ekspektoransia
Senyawa yang mempermudah atau mempercepat pembuangan secret bronchus dan trachea (Mutschler, 1991).
7.         Golongan Theophylline
Obat asma jenis ini biasanya diberikan per-oral (ditelan); tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet dan sirup short-acting sampai kapsul dan tablet long-acting. Pada serangan asma yang berat, bisa diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah) (Medicastore, 2006).
Bagaimana pengobatan untuk serangan asma?
Suatu serangan asma harus mendapatkan pengobatan sesegera mungkin untuk membuka saluran pernafasan. Obat yang digunakan untuk mencegah juga digunakan untuk mengobati asma, tetapi dalam dosis yang lebih tinggi atau dalam bentuk yang berbeda (Medicastore, 2006).
Agonis reseptor beta-adrenergik digunakan dalam bentuk inhaler (obat hirup) atau sebagai nebulizer (untuk sesak nafas yang sangat berat) (Medicastore, 2006). Nebulizer mengarahkan udara atau oksigen dibawah tekanan melalui suatu larutan obat, sehingga menghasilkan kabut untuk dihirup oleh penderita (Medicastore, 2006).
Pengobatan asma juga bisa dilakukan dengan memberikan suntikan epinephrine atau terbutaline di bawah kulit dan aminophylline (sejenis theophylline) melalui infus intravena (Medicastore, 2006).
Penderita yang mengalami serangan hebat dan tidak menunjukkan perbaikan terhadap pengobatan lainnya, bisa mendapatkan suntikan corticosteroid, biasanya secara intravena (melalui pembuluh darah). Pada serangan asma yang berat biasanya kadar oksigen darahnya rendah, sehingga diberikan tambahan oksigen (Medicastore, 2006).

Pengobatan asma jangka panjang
Salah satu pengobatan asma yang paling efektif adalah inhaler yang mengandung agonis reseptor beta-adrenergik. Penggunaan inhaler yang berlebihan bisa menyebabkan terjadinya gangguan irama jantung. Jika pemakaian inhaler bronkodilator sebanyak 2-4 kali/hari selama 1 bulan tidak mampu mengurangi gejala, bisa ditambahkan inhaler corticosteroid, cromolin atau pengubah leukotrien. Jika gejalanya menetap, terutama pada malam hari, juga bisa ditambahkan theophylline per-oral. Penggunaan dan isi sediaan dari obat asma bisa kombinasi dari golongan di atas. Adapun bentuk sediaan dari obat asma bermacam-macam pula diantaranya:
1.     Obat asma yang ditelan (tablet, sirup dan kapsul)
2.     Obat asma hirup (inhaler, rotahaler, diskhaler dsb)
3.     Obat asma suntik/injeksi
(Medicastore, 2006)


Literatur
Avianto, Lutfi. 2007. Definisi Asma Bronkhial. http://manglufti.wordpress.com/2007/10/09/ tips-untuk-penderita-asma/
Infoasma. 2004. Asma. http://www.infoasma.org/asma.html.
Medicastore. 2009. Asma. http://medicastore.com/asma/
Mutschler, Ernest. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung : ITB.
Rahmawati, I., F. Yunus., W. H. Wiyono. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_PatogenesisdanPatofisiologiAsma.pdf/05_PatogenesisdanPatofisiologiAsma.html.
Tjay, T. H., K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi Keenam. Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Gramedia.