Istilah CARA atau Chronic Aspecific Respiratory Affection mencakup semua penyakit saluran napas yang bercirikan penyumbatan (obstruksi) bronchi disertai pengembangan mukosa (udema) dan sekresi dahak (sputum) berlebihan. Penyakit-penyakit tersebut meliputi berbagai bentuk penyakit beserta peralihannya, yakni asma, bronchitis kronis, dan emfisema paru yang gejala klinisnya dapat saling menutupi (overlapping). Gejala terpentingnya antara lain sesak napas (dyspnoe) saat mengeluarkan tenaga atau saat istirahat dan / sebagai serangan akut, juga batuk kronis dengan pengeluaran dahak kental. Karena gangguan tersebut memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda-beda dengan penanganan yang juga tidak sama, maka pada umumnya telah dilakukan pemisahan antara asma, bronchitis kronis, dan emfisema, yang kini dinamakan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) (Tjay, 2007).
Apa yang dimaksud dengan Asma ?
Asma bronkial, atau lebih populer dengan sebutan asma atau sesak napas, telah dikenal luas di masyarakat. Namun pengetahuan tentang asma bronkial hanya terbatas pada gejala asma bronkial saja, diantaranya dada terasa tertekan, sesak napas, batuk berdahak, napas berbunyi (mengi), dll (Medicastore, 2009). Penyakit asma berasal dari kata “asthma” yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernapas” (Medicastore, 2009).
Asma Bronkhial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon dari saluran napas, terhadap bermacam-macam rangsangan yang ditandai dengan penyempitan saluran napas disertai keluarnya lendir yang berlebihan dari kelenjar-kelenjar di dinding saluran napas, sehingga menimbulkan gejala batuk, mengi dan sesak (Avianto, 2007). Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya. Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit (Rahmawati et al.,2003). Berbeda dengan COPD, penyempitan saluran napas paa asma umumnya bersifat reversible dan serangan biasanya berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Diantara dua serangan, pasien tidak menunjukkan gejala apapun (Tjay, 2007).
Apa penyebabnya ?
Serangan asma disebabkan oleh peradangan steril kronis dari saluran napas dengan mastcells dan granulosit eusinofil sebagai pemeran penting. Pada orang-orang yang peka terjadi obstruksi saluran napas yang difus dan reversibel. Disamping itu juga terdapat hiperreaktivitas bronchi terhadap beberapa stimuli (a)spesifik yang dapat memicu serangan. Stimuli terkenal adalah zat-zat alergen, terutama partikel-partikel tinja dari tungau, pollen, spora jamur (Aspergillus fumigatus), zat-zat perangsang (asap dan SO2 dari polusi kendaraan, asap, roko, uap, debu). Begitu pula hawa dingin (kering), emosi, kelelahan, dan inveksi virus (rhinovirus, virus parainfluenza), juga obat-obat tertentu (asetosal, β-blockers, NSAIDs) (Tjay, 2007).
Pada serangan yang hebat penyaluran oksigen dan udara ke darah menjadi sedemikian lemah, sehingga penderita membiru kulitnya (cyanosis). Sebaliknya, pengeluaran napas dipersulit dengan meningkatnya kadar CO2 dalam darah, yang memperkuat perasaan engap dan kecemasan (Tjay, 2007).
Kontak dengan zat-zat tertentu (mis. Bahan-bahan kimia) di lingkungan pekerjaan (industry) dapat memicu timbulnya asma yang bertalian dengan pekerjaan (occupational asthma). Hal ini disebabkan karena zat-zat etrsebut dapat menimbulkan antibodies IgE yang spesifik (Tjay, 2007).
Faktor Pencetus Serangan Asma
A. Faktor penjamu, faktor pada pasien
§ Aspek genetik
§ Kemungkinan alergi
§ Saluran napas yang memang mudah terangsang
§ Jenis kelamin
§ Ras/etnik
B. Faktor lingkungan
1. Bahan-bahan di dalam ruangan :
- Tungau debu rumah
- Binatang, kecoa
2. Bahan-bahan di luar ruangan
- Tepung sari bunga
- Jamur
3. Makanan-makanan tertentu, Bahan pengawet, penyedap, pewarna makanan
4. Obat-obatan tertentu
5. Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray )
6. Ekspresi emosi yang berlebihan
7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
8. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
9. Infeksi saluran napas
10. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas fisik tertentu.
melakukan aktivitas fisik tertentu.
11. Perubahan cuaca
(Infoasma, 2004)
Bagaimana mekanisme terjadinya asma ?
INFLAMASI SALURAN NAPAS
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodeling (Rahmawati et al.,2003).
Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, granulocytet monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon- (IFN-) dan tumor necrosis factor-(TNF-) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/ APC) (Rahmawati et al.,2003).
Mekanisme limfosit T - IgE
Setelah APC mempresentasikan alergen / antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan major histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik-alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi (Rahmawati et al.,2003).
Mekanisme limfosit T nonIgE
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness / AHR) (Rahmawati et al.,2003).
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Hasil pemeriksaan histopatologi penderita yang meninggal karena serangan asma menunjukkan gambaran inflamasi saluan napas. Lumen saluran napas tertutup oleh sumbatan mukuslengket yang terdiri atas protein plasma berasal dari pembuluh darah saluran napas dan glikoprotein mukus berasal dari sel epitel permukaan. Terjadi pelepasan sel epitel, penebalan lapisan subepitel, penebalan lapisan otot polos karena hipertrofi dan hiperplasi sel goblet dan kelenjar mukus(Rahmawati et al.,2003).
Kurasan (lavage) bronkoalveolar penderita asma menunjukkan kenaikan jumlah limfosit, sel mast dan eosinofil serta aktivasi makrofag sedangkan biopsi bronkus menunjukkan infiltrasi eosinofil, pelepasan epitel dan fibrosis subepitel (Rahmawati et al.,2003).
HIPERESPONSIVITAS SALURAN NAPAS
Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan permeabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa sekresi kelenjar, kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel otot polos saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF) (Rahmawati et al.,2003).
SEL INFLAMASI
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma mes-kipun peran tiap sel yang tepat belum pasti.
Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis.Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mucus (Rahmawati et al.,2003).
Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam mekanisme antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil(Rahmawati et al.,2003).
Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR (Rahmawati et al.,2003).
Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh aler-gen lewat reseptor IgE afinitas rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh mekanisme IgE-dependent sehingga berperan dalam proses inflamasi (Rahmawati et al.,2003).
Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan meng-hantarkan alergen pada limfosit T (Rahmawati et al.,2003).
Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan AHR (Rahmawati et al.,2003).
Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR (Rahmawati et al.,2003).
Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB 4 dan PAF (Rahmawati et al.,2003).
Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan bahwa neutrofil merupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti (Rahmawati et al.,2003).
Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi. Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil (Rahmawati et al.,2003).
Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan allergen (Rahmawati et al.,2003).
Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik allergen (Rahmawati et al.,2003).
Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF (Rahmawati et al.,2003).
Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah miofibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal reticular (Rahmawati et al.,2003).
MEDIATOR INFLAMASI
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mempunyai pengaruh pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF , leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan pe-narikan sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mem-pengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh (Rahmawati et al.,2003).
Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil. Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast (Rahmawati et al.,2003).
Prostaglandin
Prostaglandin (PG)D 2 dan PGF 2 merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan merangsang saraf aferen saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor tromboksan-prostaglandin (Rahmawati et al.,2003).
Platelet activating factor (PAF)
Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dapat dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro ternyata PAF tidak menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular yang disebabkan rangsangan PAF (Rahmawati et al.,2003).
Platelet activating factor juga dapat merangsang akumulasi eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel, merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE terhadap eosinofil dan monosit (Rahmawati et al.,2003).
Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme nonhistamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4 dan LTE4 (Rahmawati et al.,2003).
Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik. Sitokin dihasilkan olehlimfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflames (Rahmawati et al.,2003).
Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Interleukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B membentuk IgE (Rahmawati et al.,2003).
Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma (Rahmawati et al.,2003).
Nitric oxide (NO)
Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf, diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai vasodilator, neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi diban-dingkan orang normal (Rahmawati et al.,2003).
Radikal bebas oksigen
Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif (Rahmawati et al.,2003).
Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma. (Rahmawati et al.,2003)
Jumlah oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA, menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah (Rahmawati et al.,2003).
Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat merangsang serat C sehingga terjadi hiper-sekresi mukus dan pelepasan takikinin (Rahmawati et al.,2003).
Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas (Rahmawati et al.,2003).
Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast (Rahmawati et al.,2003).
MEKANISME SARAF
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks (Rahmawati et al.,2003).
Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin (Rahmawati et al.,2003).
Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak langsung yaitu melalui katekolamin/ epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi (Rahmawati et al.,2003).
Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)
Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor penghambat saraf NANC menyebabkan pemecahan bahan neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP) (Rahmawati et al.,2003).
PATOFISIOLOGI ASMA
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar kelainan faal. Kelainan patologi yang terjadi adalah obstruksi saluran napas, hiperesponsivitas saluran napas, kontraksi otot polos bronkus, hiperesekresi mukus, keterbatasan aliran udara yang ireversibel, eksaserbasi, asma malam dan analisis gas darah (Rahmawati et al.,2003).
Obstruksi saluran napas
Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi (Rahmawati et al.,2003).
Hiperesponsivitas saluran napas
Mekanisme pasti hiperesponsivitas saluran napas belum diketahui jelas, diduga karena perubahan sifat otot polos saluran napas sekunder terhadap perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di daerah peribronkial dapat menambah penyempitan saluran napas selama kon-traksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran napas dapat diukur dengan uji provokasi bronkus (Rahmawati et al.,2003).
Konstraksi otot polos bronkus
Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus saat kontraksi isotonik. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oleh perubahan aparatus kontraksi (Rahmawati et al.,2003).
Hipersekresi mukus
Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas penderita asma. Penyumbatan saluran napas oleh mukus hampir selalu didapatkan pada asma yang fatal. Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel (Rahmawati et al.,2003).
Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan dinding saluran napas adalah karakteristik remodelling yang terdapat pada saluran napas besar maupun kecil. Gambaran ini terlihat secara patologi maupun radiologi (Rahmawati et al.,2003).
Eksaserbasi
Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokonstriksi saja (inciter) seperti latihan, udara dingin, kabut / asap dan rangsangan penyebab inflamasi (inducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas oleh virus (Rahmawati et al.,2003).
Asma malam
Biopsi transbronkus pada penderita asma malam menunjukkan akumulasi eosinofil dan makrofag pada malam hari di alveolar dan jaringan peribronkus (Rahmawati et al.,2003).
Analisis gas darah
Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas; derajat hipoksemia berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi (Rahmawati et al.,2003).
Bagaimana menangani asma ?
Penanganannya ada dua macam, yang sama-sama penting, tergantung berat ringannya serangan yang timbul.
Pertama, non farmakologik (pengobatan tidak dengan obat-obatan)
1. Pendidikan pada penderita mengenai penyaktinya sehingga dia dapat menyikapi penyakitnya dengan baik;
2. Menghindari penyebab/pencetus serangan (allergen), dan kontrol lingkungan hidupnya;
3. Latihan relaksasi, kontrol terhadap emosi dan lakukan senam atau olah raga yang bermanfaat memperkuat otot pernapasan, misalnya berenang;
4. Fisioterapi, sehingga lendir mudah keluar.
Kedua, secara farmakologik (menggunakan obat-obatan)
1. Pelonggar nafas, misalnya salbutamol, aminofilin
2. Pemelihara, misalnya prednisone, dexametason dll.
3. Pengencer lendir, misalnya bromhexin, ambroxol dll.
(Avianto, 2007)
Obat-obat antiasmatika
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat asma dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu zat-zat yang menghindari degranulasi mastcell (anti-alergika) dan zat-zat yang meniadakan efek mediator (bronchodilator, antihistaminika, dan kortikosteroida)
1. Anti-alergika
Adalah zat-zat yang berkhasiat menstabilisasi mastcells, sehingga tidak pecah dan mengakibatkan terlepasnya histamine dan mediator peradang lainnya. Yang terkenal adalah kromoglikat dan nedocromil, tetapi juga antihistaminika (ketotifen, oksatomida) dan β2-adrenergika (lemah) memiliki daya kerja ini (Tjay, 2007).
2. Bronchodilator
Pelepasan kejang dan bronchodilatasi dapat dicapai dengan cara merangsang system adrenergic dengan adrenergika atau melalui penghambatan system kolinergis dengan antikolinergika, juga dengan teofilin (Tjay, 2007).
3. Agonis-β-adrenergik (β-mimetika)
Merupakan obat asma terbaik untuk mengurangi serangan asma yang terjadi secara tiba-tiba dan untuk mencegah serangan yang mungkin dipicu oleh olahraga atau aktivitas fisik.
Obat asma jenis ini merangsang pelebaran saluran udara oleh reseptor beta-adrenergik dengan cepat hanya beberapa menit tetapi efeknya hanya berlangsung selama 4-6 jam saja (Medicastore, 2006).
4. Antikolinergika
Obat asma ini bekerja dengan menghalangi kontraksi otot polos dan pembentukan lendir yang berlebihan di dalam bronkus oleh asetilkolin. Lebih jauh lagi, obat ini akan menyebabkan pelebaran saluran udara pada penderita yang sebelumnya telah mengkonsumsi agonis reseptor beta2-adrenergik (Medicastore, 2006).
5. Kortikosteroida
Obat asma golongan ini digunakan untuk menghalangi respon peradangan dan sangat efektif dalam mengurangi gejala asma. Jika digunakan dalam jangka panjang, secara bertahap obat asma ini akan menyebabkan berkurangnya kecenderungan terjadinya serangan asma dengan mengurangi kepekaan saluran udara terhadap sejumlah rangsangan (Medicastore, 2006).
6. Ekspektoransia
Senyawa yang mempermudah atau mempercepat pembuangan secret bronchus dan trachea (Mutschler, 1991).
7. Golongan Theophylline
Obat asma jenis ini biasanya diberikan per-oral (ditelan); tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet dan sirup short-acting sampai kapsul dan tablet long-acting. Pada serangan asma yang berat, bisa diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah) (Medicastore, 2006).
Bagaimana pengobatan untuk serangan asma?
Suatu serangan asma harus mendapatkan pengobatan sesegera mungkin untuk membuka saluran pernafasan. Obat yang digunakan untuk mencegah juga digunakan untuk mengobati asma, tetapi dalam dosis yang lebih tinggi atau dalam bentuk yang berbeda (Medicastore, 2006).
Agonis reseptor beta-adrenergik digunakan dalam bentuk inhaler (obat hirup) atau sebagai nebulizer (untuk sesak nafas yang sangat berat) (Medicastore, 2006). Nebulizer mengarahkan udara atau oksigen dibawah tekanan melalui suatu larutan obat, sehingga menghasilkan kabut untuk dihirup oleh penderita (Medicastore, 2006).
Pengobatan asma juga bisa dilakukan dengan memberikan suntikan epinephrine atau terbutaline di bawah kulit dan aminophylline (sejenis theophylline) melalui infus intravena (Medicastore, 2006).
Penderita yang mengalami serangan hebat dan tidak menunjukkan perbaikan terhadap pengobatan lainnya, bisa mendapatkan suntikan corticosteroid, biasanya secara intravena (melalui pembuluh darah). Pada serangan asma yang berat biasanya kadar oksigen darahnya rendah, sehingga diberikan tambahan oksigen (Medicastore, 2006).
Pengobatan asma jangka panjang
Salah satu pengobatan asma yang paling efektif adalah inhaler yang mengandung agonis reseptor beta-adrenergik. Penggunaan inhaler yang berlebihan bisa menyebabkan terjadinya gangguan irama jantung. Jika pemakaian inhaler bronkodilator sebanyak 2-4 kali/hari selama 1 bulan tidak mampu mengurangi gejala, bisa ditambahkan inhaler corticosteroid, cromolin atau pengubah leukotrien. Jika gejalanya menetap, terutama pada malam hari, juga bisa ditambahkan theophylline per-oral. Penggunaan dan isi sediaan dari obat asma bisa kombinasi dari golongan di atas. Adapun bentuk sediaan dari obat asma bermacam-macam pula diantaranya:
1. Obat asma yang ditelan (tablet, sirup dan kapsul)
2. Obat asma hirup (inhaler, rotahaler, diskhaler dsb)
3. Obat asma suntik/injeksi
(Medicastore, 2006)
Literatur
Avianto, Lutfi. 2007. Definisi Asma Bronkhial. http://manglufti.wordpress.com/2007/10/09/ tips-untuk-penderita-asma/
Infoasma. 2004. Asma. http://www.infoasma.org/asma.html.
Medicastore, 2006. Obat Asma. http://www.medicastore.com/apotik_online/obat_saluran_ nafas/obat_asma.htm
Medicastore. 2009. Asma. http://medicastore.com/asma/
Medicastore. 2009. Asma Bronkial. http://www.medicastore.com/neo_napacin/asma_ bronkial.htm.
Mutschler, Ernest. 1991. Dinamika Obat. Edisi Kelima. Bandung : ITB.
Rahmawati, I., F. Yunus., W. H. Wiyono. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_PatogenesisdanPatofisiologiAsma.pdf/05_PatogenesisdanPatofisiologiAsma.html.
Tjay, T. H., K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi Keenam. Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Gramedia.
No comments:
Post a Comment